Apa yang lebih berarti daripada memiliki seseorang yang sungguh mengerti isi perasaan kita? Saat perasaan Andi sedang terpukul akibat pertengkarannya dengan Linda, seorang sahabat yang baik dengan sabar mendengarkan segala masalahnya. Sayang sekali masalahnya tidak sesederhana itu …

 

Senja semakin gelap. Tak ada sesuatu yang menakutkan bagiku. Aku tetap menjalani langkah-langkahku yang terasa semakin sulit. Kupaksakan diriku untuk terus menatap ke depan. Meski diri ini seperti sudah tidak punya harga lagi untuk menatap semuanya dengan tatapan yang sama seperti dahulu.

Aku meraih tujuanku, mobil bekas coklat tua yang telah setia bersamaku selama beberapa tahun ini. Dengannya aku melaju meninggalkan tempat yang baru saja membuat separuh diriku telah mati. Jalanan ini telah puluhan kali kulewati. Sejak dahulu tetap sama. Tapi hari ini semua terasa sungguh berbeda dan menakutkan. Aku tahu apa yang kurasakan ini mungkin terbawa oleh emosiku, tapi … seakan aku baru saja kehilangan pijakan yang sangat berarti, yang selama ini membantuku menghadapi realita hidup yang kadang terasa pahit dan kejam.

“Maaf, An. Aku sudah tidak punya perasaan apa pun padamu.”

“Linda, apa maks …”

“Semua sudah berakhir, An. Aku sudah berusaha, tapi aku tidak berhasil membuat diriku terus mencintaimu.”

Aku terdiam mendengar kata-kata yang sama sekali tidak pernah kuduga ini.

“Aku nggak bisa berkata lebih banyak lagi. Aku cuma merasa perasaanku sudah berubah.”

“Kenapa, Linda, kenapa ? Katakan apa salahku ?”

“Semua ini bukan salahmu, An. Ini salahku. Akulah yang telah berubah.”

“Katakan apa yang harus kulakukan, Linda ! Katakan ! Kamu tahu aku akan melakukan apa saja untukmu, untuk terus bersamamu.”

“Anggap aku sebagai teman biasa saja, An.”

“Aku nggak percaya kamu mengatakan ini, Linda.”

“Sekali lagi maafkan aku, An. Beberapa minggu terakhir ini aku merasa bosan dengan semua kebersamaan kita. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku kini sangat menikmati masa-masa kesendirian tanpa kamu.”

“Aku ingin memperbaikinya, Linda. Kita akan bersama-sama mengatasi kebosanan ini.”

“Lupakan semua itu, An. Lebih baik kita tetap saling mengenal sebagai teman biasa.”

Segalanya tiba-tiba terasa gelap bagiku. Aku bahkan tidak tahu apa kesalahanku !

Kata demi kata yang baru saja kami ucapkan beberapa menit yang lalu itu terus terulang dan terulang lagi bergema di kepalaku. Sekian lama aku menjalin kasih dengan Linda, aku telah begitu mencintainya dan akan melakukan apa saja untuknya. Baru saja Linda meninggalkanku dengan sebuah kata yang sangat sederhana : bosan.

Seakan semua yang telah kita lalui bersama tiba-tiba menjadi tak berarti lagi. Semua cuma dusta ! Dusta yang sempat memberiku mimpi-mimpi indah.

Mobil tua ini terus kupacu tanpa arah dan tujuan. Aku nggak tahu harus ke mana lagi. Bagi seorang lelaki di perantauan ini, definisi rumah telah menjadi tidak jelas bagiku. Selama ini, setiap kesempatan bersama Linda adalah ‘rumah’ bagiku. Tempat yang menjadi tujuan karena bagiku kebersaman itu lebih berarti dari apapun di dunia ini.

Aku cuma mau pergi. Pergi sejauh mungkin dari kenyataan. Aku berharap semua ini cuma mimpi buruk dan aku akan segera bangun dari tidurku.

Sia-sia. Ternyata ini sungguh kenyataan ! Dan aku tidak siap untuk menghadapi semua ini.

Prakk ! Kuhentikan mobilku tiba-tiba di depan sebuah rumah yang tidak asing lagi bagiku. Kaca spionku yang sebelah kali ini tidak ikut terparkir bersama mobilku. Dia ketinggalan sedikit di belakang karena “terhalang” tiang listrik yang persis berada di samping mobil.

“Andi, ngapain kamu ?? Apa-apaan pakai nabrak tiang listrik segala ?”

Aku tidak menjawab. Aku terus melangkah masuk sementara Devy masih terpana melihat mobilku tanpa spion kirinya.

“Kenapa kamu, An ?” nada suara Devy sedikit melunak.

“Tiang listriknya nggak mau minggir, jadi kutabrak.”

Devy tidak menjawab. Memang sebaiknya dia tidak mengomentari jawaban tololku. Dia melangkah masuk ke arah ruang tamu, kemudian dia masuk sebentar ke dalam, dan keluar lagi membawa 2 gelas minuman dingin.

“Minum dulu. Tenangkan dirimu.”

Aku meneguk sirop rasa jeruk itu. Masih dalam keadaan diam seribu basa. Devy mengikutiku diam tak bersuara untuk beberapa saat.

“Makasih buat minumannya,” kataku memecah keheningan.

“Sejak kapan kamu jadi formal begini ? Ada apa, An ? Aku nggak tahu apa yang baru saja terjadi padamu, tapi aku tahu ini bukan kamu yang biasanya. Apa tadi kamu kena tilang di jalan ?”

“Seandainya saja masalahnya sesederhana itu.”

“Jadi kamu nggak kena tilang. Emmm … terus apaan ?”

“Linda.”

Devy terdiam.

“Dia memutuskan aku. Tanpa alasan, tanpa pertengkaran, cuma satu kata : bosan.” Devy masih diam.

“Aku heran, apa kamu nggak takut bosan kalau sering kukunjungi. Apa kamu nggak takut ketularan jadi orang yang membosankan ?”

“Andi ! Kenapa kamu berpikir seperti itu ??”

Gantian aku yang diam. Beberapa saat aku coba menenangkan diri. Sementara itu ekspresi Devy sungguh sulit kuduga maksudnya.

“Maafkan aku, Dev.”

“Lupakan saja, aku tahu kamu sedang emosi.”

“A-aku bahkan nggak tahu apa salahku, Dev. Tiba-tiba saja hari ini …”

“Sssst !” tangan Devy menutup mulutku.

“Sudahlah, bercerita akan membuat kamu tambah merasa sakit. Ada hal-hal yang lebih baik tidak dikatakan.”

“Tapi … aku harus bagaimana ?” aku nyaris nggak sanggup lagi menahan air mataku untuk mengalir dengan deras.

“Kuatkan hatimu, An. Kamu harus bisa menjalani semua ini.”

Aku tidak bicara lagi. Kurasa memang aku tidak perlu bicara. Sekitar satu jam aku cuma duduk diam sementara Devy tetap berada di depanku.

“Sudahlah, aku permisi dulu, Dev. Sorry kalau aku mengganggu kamu.”

“Aku sama sekali nggak merasa terganggu. Tapi kupikir memang lebih baik kamu pulang dan menenangkan diri.”

“Aku nggak berminat pulang. Aku mau menghabiskan sisa hari ini di luar. Terima kasih mau mendengarkan aku.”

“Mau kutemani ?” Devy menawarkan.

“Aku sudah cukup merepotkanmu. Ini sudah malam.”

“Berapa kali harus kubilang. Aku tidak merasa repot. Aku tahu kamu sedang emosi dan banyak pikiran. Sebagai teman dekatmu, aku menawarkan bantuan, sangat wajar dan memang seharusnya kan ? Jangan jadikan malam sebagai alasan. Aku bukan ABG yang mesti diawasin orang tua dengan jam malam lagi.”

Aku tidak menjawab. Aku terus melangkah ke luar menuju mobilku.

“Tunggu aku sebentar, aku mau kunci pintu dulu.” Devy berteriak dari dalam ketika aku sudah sampai di pintu keluar.

Aku sudah menunggu di mobil ketika Devy masuk dan duduk di samping.

“Thanks, Dev. Aku sangat menghargai pengertianmu.”

“Sama-sama. Kita semua pernah mengalami masa-masa yang sulit. Sebagai teman, kita mesti saling membantu untuk melewati dan mengatasinya.”

“Oke oke, sekarang aku tahu kenapa tahu lalu kamu menang lomba debat.”

Devy tersenyum kecil. “Mau kemana kita ?”

“Berputar-putar. Aku sendiri nggak tahu mau ke mana.”

“Sesukamu lah.”

Aku menghidupkan mobil dan mengendarainya menjauhi rumah kontrakan Devy, teman baikku sejak SMU. Sudah lama kita berteman, saling bercerita masalah-masalah kita, saling membantu dalam kesulitan. Bahkan Devy lah yang membantuku untuk menyusun kata-kata sewaktu aku menyatakan cinta pada Linda dulu. Kadang pernah kupikir sebagai teman kita terlalu dekat. Tapi memang beginilah kita. Aku tak pernah berpikir untuk merusak persahabatan ini dengan niat yang lain.

Sudah beberapa puluh menit kita berputar-putar kota. Selama itu pula aku terus bercerita tentang Linda dan betapa aku menyayanginya. Seperti biasa Devy adalah pendengar yang baik di saat aku mengoceh tak karuan seperti sekarang ini.

“Makan di sana yuk !” Devy menunjuk pada sebuah warung kecil yang memang kutahu selalu buka sampai tengah malam.

Kulirik jam tanganku sebentar, jam sembilan malam.

“Boleh. Kamu lapar ya ?”

“Dikit, soalnya tadi makan siangku kepagian.”

“Kenapa nggak bilang dari tadi ?”

“Aku kan nggak mau mengganggu ceritamu.”

Aku cuma geleng-geleng kepala.

Kuparkir mobil di jalan yang tidak terlalu lebar ini. Kawasan ini memang bukan kawasan elit. Warung yang kukunjungi cuma tempat kecil yang jauh untuk dikatakan mewah.

Sebetulnya aku nggak merasa lapar. Tapi aku nggak enak membiarkan Devy makan sendirian. Jadi aku ikut makan saja sekedarnya.

“Besok pagi aku akan ke rumah Linda. Aku mau bicara pribadi sama dia. Aku harap hubungan kalian masih bisa diselamatkan.”

“Dev, kamu nggak perlu melakukan ini. Ini urusanku sendiri. Sudah seharusnya aku menghadapinya sendiri.”

“Andi, berhentilah berpikir bahwa kamu manusia super yang bisa mengatasi semuanya sendiri. Manusia butuh teman. Kamu butuh teman. Teman yang baik tidak akan tinggal diam sementara sahabatnya dalam masalah.”

“Aku, aku cuma nggak mau Linda berpikir aku memanfaatkan kamu untuk memintanya mempertimbangkan lagi keputusannya.”

“Ini inisiatifku sendiri kan ? Sudahlah, aku yakin besok kita bisa bicara baik-baik dengan Linda.””Kita ? Apa maksudmu dengan kita ??”

“Hei, tentu saja kamu sama aku. Akan lebih baik kalau kamu juga berada di situ.”

“A-aku nggak tahu apakah aku siap untuk itu, Dev.”

“Baiklah, aku nggak akan memaksamu. Besok aku akan ke sana sendiri. Kalau kamu berubah pikiran dan memutuskan untuk datang, langsung aja ke sana. Aku yakin aku akan cukup lama di sana.”

Aku tak menjawab. Aku tetap menikmati es teh manisku dengan tenang.

Usai makan, aku dan Devy ke taman kota. Kuparkir mobilku di tepi jalan, selanjutnya kita saling bercerita mengenang kembali saat-saat SMU dulu. Pernah aku digosipkan pacaran sama Devy karena begitu seringnya kita kelihatan bersama. Padahal saat itu Devy sudah punya cowok, namanya Jason, dia memutuskan Devy beberapa bulan yang lalu. Aku masih ingat betapa Devy menjadi murung selama beberapa hari setelah dia putus. Saat itu aku rajin datang ke tempatnya, menghibur, dan memberinya semangat. Mungkin sekarang Devy sedang mencoba membalas apa yang kulakukan untuknya dulu. Padahal aku sama sekali tidak mengharapkan balas jasa.

“An, ingat nggak saat pesta perpisahan SMU dulu. Anak-anak kelas IPS saling menyiram air. Ujung-ujungnya kamu juga kena. Terus kamu minta selang dari mereka dan menyemprotku.”

“Hehehe” aku tertawa kecil mengingatnya. Saat itu Devy jadi basah kuyub dan langsung marah-marah.

“Kalau nggak salah, saat itu aku belum membalas ya ?? Berarti sampai sekarang kamu masih hutang satu kali semprotan air sama aku.”

“Lho lho, kok ujung-ujungnya balas dendam.”

“Biarin. Habis waktu itu kamu jahat.”

“Tapi sekarang semua itu menjadi kenangan buat kita kan ?”

Devy diam. Dia memandang ke atas, kemudian keluar dari mobil.

“Devy, kenapa kamu ?” tanyaku sambil mengikutinya keluar. Aku khawatir dia tersinggung.

“Ssst ! Lihat, malam ini langit bersih sekali. Bintang-bintang di atas dua kali lebih banyak dari biasanya.”

Aku menoleh ke atas. Devy benar. Bintang-bintang di atas kelihatan indah sekali. Mereka bergantian mengedipkan cahayanya pada kami. Selanjutnya kami asyik dengan pemandangan itu.

“Tahu nggak, aku ingin mengambilnya satu buat kamu. Kalau kamu memberikannya pada Linda, mungkin kalian bisa baikan kembali.”

Aku nggak tahu harus menjawab apa. Seandainya Linda bersamaku malam ini …

Jam 11 malam lebih aku mengantar Devy pulang.

“Thanks buat semuanya, Dev.”

“Sampai ketemu besok, An.” Devy melambaikan tangan ke arahku.

Malam ini kegelisahanku membuat aku tak dapat tidur. Aku tak tahu apa yang harus dan akan kulakukan besok. Yang jelas saat ini berbagai masalah tercampur-aduk dalam pikiranku.

= = = o O o = = =

Sekitar jam 8 aku bangun. Masih dengan kebimbangan, aku mempertimbangkan kata-kata Devy kemarin malam. Saat ini Devy pasti sudah di rumah Linda. Aku kenal betul Devy, dia selalu bangun sebelum pukul 6 pagi. Dan kalau dia bilang mau melakukan sesuatu di pagi hari, yang dia maksud adalah jam 7-an. Apakah hari ini aku perlu menyusulnya ke rumah Linda ?

Kupikir, bagaimanapun aku masih dan sangat menyayangi Linda. Aku akan lakukan apa pun untuk mendapatkan cintanya kembali. Jadilah sekitar jam setengah sembilan aku melaju mobilku ke Utara. Ke rumah tinggal Linda bersama orang tuanya.

Dengan sengaja aku tidak mengendarai mobilku terlalu cepat. Dari tadi otakku sibuk mencari kata-kata untuk menghadapi Linda nanti. Aku terus memikirkan semua kemungkinan yang terjadi. Apa yang akan dibicarakan Devy bersama Linda ? Kemarin dia menolak untuk mengatakannya.

Kubelokkan mobilku ke kiri, memasuki jalan yang cukup lebar tempat rumah Linda di sebuah perumahan di pinggir kota. Dari agak jauh kulihat dua sosok di depan rumah Linda yang kukenali sebagai Devy dan Linda.

Aku bermaksud menyapa mereka ketika sekonyong-konyong aku melihat sebuah mobil sedan melaju kencang ke arah Linda yang sedang berada di tengah jalan. Jelas sekali sedan putih itu tidak menunjukkan gejala mengurangi kecepatan. Dan detik itu aku menyadari Linda berada dalam bahaya besar.

“Linda awas !” aku berteriak sekencang mungkin karena memang mobilku masih berjarak beberapa rumah dari tempat Linda dan Devy berdiri.

Linda tidak mendengar. Tapi Devy mendengar teriakan itu, spontan dia melihat ke arahku, lalu ke arah Devy, lalu dalam sekejap Devy beranjak dari tempatnya berdiri di dekat pagar. Devy melompat mendorong Linda yang nyaris tertabrak mobil. Dan …

Aku mengerem mobil sekuat tenaga. Segera aku keluar dan mendapati Linda selamat di tepi jalan. Sementara Devy … tubuhnya berlumur darah. Devy telah menggantikan tempat Linda tadi dan dialah yang terkena tabrakan itu.

“Devy …”

“Andi … , a-apa Linda selamat ?”

“D-dia selamat. Linda baik-baik saja.”

“J-jaga diri kamu baik-baik, An. Devy s-sudah tidak bisa membantu lagi.”

“Devy, tahan dulu. Kuatkan dirimu. Sebentar lagi pertolongan akan datang,” aku tak kuasa menahan air mataku.

“Andi …”

“Aku di sini, Dev. Aku di sampingmu.”

“Sejak kamu jadian sama Linda, kamu nggak pernah memanggil aku Evy lagi. Dulu itu panggilan akrabmu buatku, kan ?”

Devy berhenti sebentar mengambil nafas panjang.

“M-maukah kamu memanggilku Evy sekali lagi, An ?”

“E-evy.”

“Evy sudah lakukan apa yang Evy bisa untuk menyelamatkan Linda. Evy tahu Linda sangat berarti buat kamu.”

“Evy, j-jangan berkata begitu. Kamu akan s…”

“M-maukah kamu selalu mengenang Evy sebagai teman yang baik … ? E-evy harus pergi sekarang, An.”

Devy menutup matanya. Pagi ini aku kehilangan sahabat terbaik yang begitu berarti bagiku.

= = = o O o = = =

Air mata kami semua masih belum mengering ketika upacara pemakaman Devy telah usai. Dengan setelan jas serba hitam, aku menghampiri Linda yang dari tadi diam menundukkan kepala.

“Aku antar kamu pulang, Lin”

“T-tidak usah, An. Terima kasih. Sekarang kita cuma teman biasa. Aku nggak mau merepotkanmu lagi. Seorang teman berjanji mengantarku pulang.”Aku melangkah tanpa semangat menuju mobilku. Kunyalakan dan bersamanya aku meninggalkan tempat pemakaman itu.

Sepi dan sunyi begitu meliputi diriku. Sudah sering aku mengalami hal ini. Bedanya, hari ini aku tidak lagi memiliki seorang Devy yang selalu akan mendengarkan segala keluhan dan kesedihanku. Hari ini asa yang kupunya itu tak lagi bisa berkata apa-apa. Dia telah beristirahat dengan tenang di alam sana.

Jakarta, 1 Juni 1999
Heart Will Never Lie
Robert Setiadi

 

Dilarang menggunakan cerpen ini untuk keperluan komersial dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penulis. Penyebaran cerpen diperbolehkan selama bersifat non-komersial dengan syarat harus menyertakan link URL ke alamat
https://www.robertsetiadi.com/articles/short-stories/asa-tak-lagi-berkata-apa-apa/