Irene sedang kesal karena peraturan baru pesta Valentine yang akan diadakan di sekolahnya. Datang berpasangan, kata itu terdengar begitu menyebalkan di telinga cewek yang memang belum mau dekat dengan cowok ini. Saat ajakan Roy, si cowok favorit, ditolaknya …

 

Siang yang panas. Aku ingin secepatnya tiba di rumah. Aku yakin teman-teman sekelasku pun sependapat denganku. Sayang, bel usai sekolah belum mau bekerja sama. Baiklah, kunikmati saja menit-menit terakhir jam pelajaran yang membosankan ini.

Kriiing ! Suara bel yang kudambakan itu akhirnya terdengar juga. Setelah doa kilat dan semuanya yang serba kilat, aku segera ngacir pulang ke rumahku sendiri (emangnya rumah siapa ?)

“Irene… Irene… Tunggu dulu !” Mendengar namaku dipanggil, spontan saja aku menoleh ke belakang. Via tampak terburu-buru menyusulku.

“Kamu datang ke pesta Valentine besok malam kan ?” tanyanya.

“Entahlah ! Mungkin aku tidak datang.”

“Lho, kenapa ? Biasanya kamu paling demen sama acara pesta !?”

“Mungkin yang ini tidak. Siapa sih yang bikin peraturan untuk datang secara berpasangan ?! Aku nggak setuju itu !” sungutku.

“Ooo, itu masalahnya. Tenang aja, masih ada satu setengah hari sebelum pesta. Pasti ada cowok yang mengajakmu.”

“Enak aja ! Kalaupun ada pasti kutolak !”

Mendengar jawabanku yang ketus, Via cuma bisa geleng-geleng kepala. Memang, untuk hal yang satu ini pendirianku agak lain dari yang lain. Sampai sekarang aku belum mau dekat banget sama makhluk yang berjenis cowok.

Sesampai di rumah, aku segera makan, ganti baju, masuk ke kamar, terus tidur. Hal ini memang sudah menjadi menu harianku yang biasa. Kucoba memejamkan mataku. Tapi agaknya sang mata nggak mau bekerja sama. Unjuk rasa menuntut kenaikan UMR barangkali.

Aku bener-bener jengkel sama Tony, ketua kelasku. Tadi Tony mengumumkan peraturan pesta Valentine di kelas. Tiap cowok diberi selembar kartu. Kartu itu harus dikirim atau diberikan sendiri pada cewek yang ia tuju untuk menjadi pasangannya selama pesta berlangsung.

Sungguh, aku penasaran ingin mengetahui siapa yang mempunyai usul gila ini. Kalau ketemu pasti kucakar habis-habisan (ganas, ya?!).

Seusai bobok siang, seperti biasa serangkaian kegiatan telah menungguku. Les ini, les itu, macam-macamlah !

Malam ini, banyak sekali teman yang meneleponku dengan pokok pembicaraan yang sama : Pesta Valentine. Heran, tampaknya mereka justru setuju dengan sistem kartu Valentine tadi. Lebih berkesan, kata mereka.

Weleh, weleh, weleh, rupanya aku satu-satunya yang tidak setuju. Hampir semua kawan baikku menganjurkan agar aku mengurangi sikap tertutup yang selama ini kumiliki. Entar nggak laku lho !, begitu kata mereka.

Aku sih selama ini cuex aza. Menurutku, makhluk yang namanya cowok itu selalu maunya menang sendiri. Mengurangi kebebasan, nggak setia, macam-macam yang jelek lah. Padahal aku belum pernah pacaran lho !

Ketika keesokan paginya aku tiba di sekolah, ternyata hampir semua teman cewekku udah dapat pasangan. Mereka pada sibuk membuat rencana untuk malam hari nanti. Soal baju, soal dandanan, ada saja yang mereka bicarakan. Sementara mereka asyik arisan, aku cuma diam saja. Mendingan main boneka di rumah, pikirku (padahal udah gede lho !).

Sementara rasa jengkelku belum reda, tiba-tiba Roy mendekatiku (perlu dijelaskan bahwa dia termasuk makhluk yang berlabel cowok).

“Irene, kamu sudah dapat pasangan untuk pesta Valentine nanti ?”

“Belum” jawabku singkat.

“Pergi denganku yuk !” ajaknya sambil menyodorkan kartunya padaku.

“A-aku tak bisa pergi. Aku harus menjaga adikku yang sakit, ” jawabku berbohong.

“Oh, sayang sekali,” ia tampak kecewa.

Aku diam.

Sungguh, sebenarnya aku tak ingin bohong. Apalagi pada Roy yang selama ini baik padaku. Tapi bukankah aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya bahwa aku nggak datang karena sebel ama pesta Valentine tahun ini.

Siangnya, sepulang sekolah Via menghampiriku lagi. Uh, bosan bener aku, untung dia nggak sekelas denganku.

Seperti biasa Via yang centil itu bertanya lagi tentang pesta yang menghebohkan itu. “Irene, kamu sudah dapat pasangan, kan ? Nanti datang lho !”

“Sudah kubilang, aku tidak ingin datang. Kenapa mesti pake nanya lagi ?”

“Lho ? Apa tidak ada yang mengajakmu ? Begini saja, aku akan membantumu mencari pasangan.”

“Sebenarnya sih tadi Roy mengajakku, tapi kutolak.”

“Hah ??! Kamu menolak ajakan Roy ?! Becanda kamu ! Padahal puluhan cewek berharap diajak Roy.”

“Biarin saja. Dengan begini bukankah aku justru memberi kesempatan pada yang lain !? Pasti Roy akan segera mencari pasangan lain. Dia nggak bakalan kesulitan kok !”

Via memandangku dengan tatapan mata yang aneh sambil geleng-geleng kepala. Entahlah, mungkin dikiranya aku ini agak sinting. Aku sih tetap nggak peduli. Seperti biasa : cuex is the best !

“Bagaimana dengan kamu, Via ? Siapa pasanganmu nanti ?” tanyaku berbasa-basi.

“Aku pasangan sama Handi, ” kata Via sambil menunjukkan kartu Valentine dari Handi yang dibawa dalam tasnya. Biasa, pamer !

Kulihat sepintas kartu itu. Ada gambar hati di dalamnya (nggak mirip sama gambar hati di buku Biologiku). Di atas ada nama Handi dan Via. di bawah gambar hati ada tulisan manis berbunyi : BE MY VALENTINE. Ah, seandainya Aaron Kwok mengirimkan kartu seperti itu padaku. Hei, tapi Aaron kan termasuk cowok juga ?! Biarin, yang satu ini kan spesial pake telor !

“Bagus ya ?!” tanya Via membuyarkan lamunanku. Ia membalik kartu itu dan menunjukkan bagian belakangnya. Ada beberapa baris puisi yang katanya asli buatan Handi. Kubaca sepintas, isinya penuh dengan kata-kata manis dengan janji-janji cinta bertebaran di mana-mana. Paling cuma nyalin dari buku, pikirku.

Malam ini aku benar-banar membulatkan tekad untuk tidak pergi. Aku cuma diam di kamarku sambil baca majalah. Ketika jam telah menunjukkan pukul sembilan malam, aku mencoba menelepon Via. Soalnya menurut rencana pesta berakhir pukul setengah sembilan.

“Gimana pestanya, Via ? Asyik nggak ?”

“Seru banget ! Kamu betul-betul rugi nggak datang !”

“Emangnya yang absen cuma aku doang ?” iseng aku bertanya.

“Nggak juga sih . Yang nggak nongol ada dua orang : kamu sama Roy. Kalian janjian, ya ?!”

“Hah ???!? Roy nggak datang ? Serius nih ?”

“Serius banget.”

“Ada apa ya ?”

“Lho, bukankah kemarin ajakannya kau tolak !? Terang aja dia nggak datang.”

“Tapi dia kan bisa cari pasangan lain. Siapa sih yang nggak mau sama Roy ?!”

“Yang nggak mau ya kamu sendiri ! Nyatanya Roy bener-bener nggak cari pasangan lagi.”

Busyet !!! Aku benar-benar kaget. Segera saja kuakhiri pembicaraanku dengan Via.

Aku masuk kembali ke kamarku. Bingung juga rasanya, apakah Roy tidak datang karena aku ??

Tanpa kusadari aku mulai menyusun beberapa prasangka. Ah, tingkah cowok yang satu ini memang terkadang membingungkanku.

Dalam kegelisahan, aku berusaha untuk menenangkan diri. Tiba-tiba aku teringat bahwa aku belum mengerjakan pe-er sejarah. Segera saja kubuka tas sekolahku.

Tak kuduga aku menemukan kartu Valentine milik Roy di tasku. Dengan penasaran kubuka amplopnya. Di halaman depan ada gambar hati, nama lengkap Roy, dan namaku.

Ketika kulihat halaman belakang, kudapati beberapa baris puisi yang singkat dan sederhana :

Tiada kata dapat kuucapkan …
untuk menyatakan perasaanku padamu.
Tiada huruf dapat kutulis …
untuk mengungkapkan isi hati ini padamu.
Hanyalah sejuta harapan …
Bahwa suatu hari nanti
Kamu akan mengerti ketulusan hatiku
Please, Be My Valentine

Semarang, 2 February 1996
Dedicated for Love
Robert Setiadi

 

Dilarang menggunakan cerpen ini untuk keperluan komersial dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penulis. Penyebaran cerpen diperbolehkan selama bersifat non-komersial dengan syarat harus menyertakan link URL ke alamat
https://www.robertsetiadi.com/articles/short-stories/be-my-valentine/