Pertemuan singkat Douglas dan Iori membawa perubahan yang sangat besar pada jalan hidup yang akan dipilih pemuda ini. Berangkat dari percintaan sepasang insan dari status sosial yang berbeda, duri dan batu mewarnai perjalanan mereka. Semua kisah dimulai justru dari …

 

Alunan musik opera itu masih terdengung-dengung di kepalaku. Tak berselera pikiranku menerawang jauh ke ambang batas kesadaranku. Cukup lama sebelum aku tersadar dan menyadari tempat aku berpijak sekarang ini.

Beberapa sosok lusuh dengan kondisi yang jauh untuk dikatakan layak bergerak dari satu timbunan sampah ke timbunan sampah yang lain. London memang tidak pernah ramah bagi kaum tidak mampu. Puluhan, ratusan, entah berapa banyak anak-anak jalanan yang harus berjuang demi sesuap makanan. Entah apa yang mereka cari, makanan, barang-barang, atau cuma sebuah kehidupan.

Ah, kehidupan… Tahun-tahun badai kehidupan telah berulangkali menghempaskan aku, meluluh-lantahkan seluruh tulang-tulang dan sumsum harmoni hidup ini. Betapa batas antara hidup dan mati kadang sudah tak jelas lagi bagiku. Tampaknya para ilmuwan, agamawan, dan filosofis harus bekerja keras mendefinisi ulang arti kata “kehidupan” untuk manusia abad mendatang… atau bahkan mungkin sekarang.

Pekerjaan yang enak, fasilitas yang mewah, uang yang cukup untuk membeli semua yang aku inginkan… betul-betul sebuah hidup yang sukses, begitu yang sering kudengar dan kubaca. Membeli semua yang kuinginkan? Ah, lagi-lagi kerongkongan ini tercekat memprotes pikiran yang baru saja terlintas di benakku. Sedetik terasa ruang diafragma dalam saluran pernafasanku menolak untuk bekerja sama menyalurkan sesuap oksigen bagi laki-laki tua ini.

Mobil mewah yang kunaiki setiap hari, rumah yang besar dan segala isinya, belum lagi beberapa villa di luar kota yang kubeli hanya untuk iseng, secara materi aku memang seorang pengusaha sukses yang kaya. Terlalu kaya bahkan, sampai aku sendiri tak cukup akal untuk menghabiskannya. Puas?

Beratus pasang mata setidaknya akan melirik ke arahku saat aku melintas di depan mereka dengan menggunakan sedan mewah impor yang bukan barang umum di negara dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah ini. Decak kagum dan pikiran-pikiran iri mereka selalu membuatku bangga terhadap keberhasilanku… ya, keberhasilan, kalau tak mau dikatakan sebuah kepalsuan…

Kuayunkan langkahku menyeruak kegelapan malam yang dingin dan mencekat ini. Aku memilih untuk berjalan kaki kembali ke hotel dan meninggalkan mobilku di tempat parkir gedung opera. Besok biar kusuruh salah satu sopirku mengambilnya.

Pohon tua di depanku seolah telah menunggu kehadiranku. Kehadiran seorang sampah tua yang dulu telah menghancurkan banyak hati di kota kenangan ini. Kuhentikan sejenak langkahku. Sepucuk daun kering jatuh dan kutangkap tepat di telapak tanganku. Tangan tua yang telah membantu sang tuan mencapai ambisinya menaklukkan dunia.

^ ^ ^ * * * ^ ^ ^

“Say you love me, dear.”

“You know I always do.”

“Say it, I wanna hear that word from you.”

“Apa semua yang aku lakukan untukmu belum cukup untuk membuktikan perasaan ini? Apa artinya sebuah kata, Emily, itu cuma sebuah kata. Siapa pun bisa mengucapkannya tanpa arti. Mana yang kamu inginkan, kata-kata manis yang palsu atau tindakan dan perbuatan nyata?”

“I know, but…”

Aku tidak memberi kesempatan pada Emily untuk menyelesaikan ucapannya.

“Apa kata-kata cinta itu sedemikian berartinya untukmu?”

Tidak sepatah katapun terucap dari bibir mungil Emily, hanya isak tangis yang berusaha ditutupinya sekuat tenaga.

“Sudahlah, maafkan aku,” aku memeluk gadis itu erat-erat.

Sangat erat, aku tak ingin siapa pun memisahkan kami.

Dan air mata permata hatiku menetes membasahi akar-akar pohon tua tempat kami berdua melepas lelah.

^ ^ ^ * * * ^ ^ ^

Relung-relung batin ini sedikit terasa hangat. Mengenang kembali hari-hari indah itu selalu menjadi satu-satunya penghiburanku. Kusandarkan tubuh renta ini di bagunan pos jaga kecil tak jauh dari sang pohon.

Kosong. Kota ini tak jauh berubah dari saat kutinggalkan dulu kecuali satu hal, semuanya kini terasa kosong bagiku. Atau mungkin juga bagi sejumlah orang setelah sampah ini pergi dan menyakiti mereka. Atau mungkin… ah, terlalu banyak kemungkinan.

Tidaklah mudah menyelami lautan perasaan yang sedang dilanda badai hebat ini. Terkadang sungguh sulit dipercaya bahwa berbagai kesulitan dan rintangan hidup yang kualami ternyata tidak berarti dibanding dengan yang satu ini. Rasa sepi. Sepi yang terasa sangat menusuk ulu sanubari di usiaku yang sudah menyongsong senja ini.

Kuhabiskan berjam-jam melamun dan melepas semua anganku terbang tinggi, jauh dan bebas. Menyusuri beribu andai-andai yang tak pernah kucapai. Jauh dan semakin jauh dariku. Kemarin sempat kupikir bahwa nasib sedang mempermainkan aku. Mempermainkan seorang tua yang tinggal menjalani tahun-tahun penghabisan hidupnya. Yang entah kapan akan berakhir.

Aku salah, sangat salah. Hari ini aku sadar bahwa bukan nasib yang mempermainkan aku. Aku mempermainkan nasib dan kehidupanku sendiri. Sumber gara-gara dari semua ini cuma satu, aku sendiri. Dan kenyataan ini sungguh menyakitkan.

Ah, tempat ini tiba-tiba sudah tak nyaman lagi bagiku.

^ ^ ^ * * * ^ ^ ^

“Hati-hati, Iori-chan” dua orang gadis melambaikan tangannya ke arah seseorang yang mereka panggil dengan nama Iori. Nama yang indah, pikirku.

Gadis yang bernama Iori itu sungguh cantik luar biasa. Beberapa detik yang sempat kumiliki untuk menyaksikan keindahan itu membuatku terpaku diam seribu kata. Putaran roda sepeda yang dipakai Iori menjauhkan aku dari malaikat mungil yang baru saja melintas di hadapan seorang jelata beberapa kedipan yang lalu. Terus kulangkahkan kaki ini karena kupikir akan menyolok sekali kalau tiba-tiba aku menghentikan langkah setelah melihat seorang gadis.

Hari-hari berikutnya aku terus melewati jalan yang sama pada waktu yang sama. Tolol bukan? Aku terus mengingatkan diriku sendiri bahwa aku sudah memiliki Emily, dan aku tidak punya alasan untuk ingin bertemu lagi dengan gadis bernama Iori itu.

Dua minggu kulalui, aku nyaris telah melupakan pertemuanku yang pertama, pagi ini aku melihat Iori sedang turun dari sepedanya, berjalan menuju bangunan tua yang kukenal sebagai tempat kursus bermain piano untuk keluarga kaya. Santai, ringan, dan sungguh elegan. Segala tingkah dan gerak-gerik gadis ini semakin menarik perhatianku.

“Hai, namaku Douglas. Aku sering melihat kamu lewat daerah sini. Boleh aku tahu namamu?” Entah darimana aku mendapat keberanian, tahu-tahu aku sudah mendapati diriku berhadapan dengan bidadari itu.

Tak sepatah jawaban aku dapatkan. Hanya senyum malu yang disembunyikan dalam wajah yang tertunduk.

“J-jangan takut, aku tidak bermaksud buruk. Aku cuma ingin berkenalan.”

Sekali lagi aku tidak mendapatkan jawaban.

“Baiklah, aku mengerti. Tentu ibumu tak mengijinkan kamu berbicara dengan lelaki asing sepertiku.”

Agak putus asa aku melangkahkan kakiku kembali ke tempat aku bersembunyi tadi. Sedih, putus asa, atau apa yang kurasakan, aku sendiri sama sekali tidak tahu.

“Tu-tunggu…”

Aku menoleh.

“Namaku Yamamoto.”

Gadis itu setengah berlari memasuki gedung kursus yang tepat berada di depan kami.

^ ^ ^ * * * ^ ^ ^

Hari itu semua heran melihat wajahku yang penuh dengan senyuman. Mungkin sedikit berlebihan hingga aku lebih mirip orang gila daripada bahagia. Tak kuacuhkan semua pandangan aneh orang-orang ke arahku. Hahaha, andai aku bisa melihat wajahku sendiri ketika itu.

Kubawa senyum kegembiraan memasuki gudang terkutuk tempat aku bekerja sebagai buruh kasar. Terkutuk. Ya, itulah yang kupikirkan setiap hari, bagaimana melarikan diri dari tempat tak berperikemanusiaan ini.

Gudang tempat aku bekerja adalah sebuah tempat penyimpanan di dekat pelabuhan. Di depan terdapat sebuah pintu tua berkarat, dua orang penjaga bersenjata mengawal muatan barang kerajinan porselin dari Jepang yang datang setiap beberapa hari sekali lewat kapal.

Di lantai atas ada ruangan yang kami sebut sebagai “ruang penyiksaan”. Buruh yang berbuat salah akan dibawa ke situ dan dicambuk oleh belasan mandor tanpa rasa perikemanusiaan. Saat beruntung, seorang pekerja mungkin akan keluar dari ruang itu hanya dengan luka-luka memar. Jika kurang beruntung, mereka mungkin telah mematahkan kaki atau tangan si korban. Atau pernah terjadi beberapa kali buruh yang sudah cukup berumur meninggal di “ruang penyiksaan”.

Polisi toh nyatanya tidak bisa berbuat apa-apa. Dari berbagai kabar burung yang pernah kudengar, pemilik gudang ini, seorang hartawan dari Jepang, adalah sahabat baik walikota. Dia memiliki cukup banyak koneksi di tingkat pemerintahan sehingga kegiatan bisnisnya bisa berjalan lancar tanpa adanya berbagai “gangguan”.

Aku berasal dari Colchester, bulan lalu aku merantau ke London bekerja di sini. Toko roti tempat aku bekerja sebelumnya memberhentikan aku karena menurunnya tingkat kemampuan ekonomi. Selama bekerja di sini, aku sendiri baru mengalami sekali melihat seorang teman masuk ke “ruang penyiksaan”. Dia cukup beruntung bisa keluar hanya dengan sejumlah memar. Dia bercerita bahwa seorang wanita muda kebetulan masuk dan memarahi para mandor yang sedang menyiksanya. Wajahnya sangat terlihat khas orang Jepang. Ah, mungkinkah…

“Doug, senyum apa kau? Cepat, pekerjaan sudah menunggu !!! Atau mungkin kamu sudah menginginkan pekerjaan di tempat lain?”

Wajah garang itu menyeringai dengan sangat tak sedap ke arahku.

“Brengsek !!!” aku menggerutu sambil mengenakan helm menuju alat pengangkut barang di depanku. Satu kotak, dua kotak, entah berapa kotak berat yang kuangkut setiap hari untuk seorang majikan tua yang serakah dan haus harta tanpa mempedulikan nasib buruhnya. Kerja 12 jam sehari dengan upah yang bahkan tak cukup untuk makan dengan layak dan membayar sewa rumah gubuk tempat aku tinggal.

“Tolol !!! Kotak itu seharusnya diletakkan di sana !!! Idiot !!! Kapan kalian bisa mengerjakan sesuatu dengan benar ?!??”

Mandor tua itu memaki-maki salah satu temanku yang melakukan kesalahan. Dengan tega dia menyepak tubuh kurus tak berdaya yang tengah berhenti kelelahan.

Biadab !!! Kami juga manusia, apa susahnya bicara baik-baik?

Ah, seandainya aku punya nyali untuk menyuarakan jeritan hati ini.

“Hentikan itu !!! Ada apa ini?”

Semua orang menoleh.

“A-anu non, orang ini salah meletakkan kotak barang kita.”

“Haruskah kamu memaki dan menendangnya seperti itu? Bagaimana rasanya kalau kamu yang diperlakukan seperti itu.”

Biadab tua itu terdiam.

Sorak sorai dan tepuk tangan tertuju pada sesosok orang yang berani menentang mandor kami. Aku mencoba melangkah mendekat untuk mengetahui identitas sang penolong itu.

“Maaf nona Yamamoto. Saya minta maaf”

Biadab tua itu membungkuk dengan sangat sopan.

Aku berdiri mematung menyaksikan sosok yang tadinya begitu ingin kulihat.

Kini tidak lagi…

^ ^ ^ * * * ^ ^ ^

“Ben, siapa wanita yang tadi datang?” Arthur bertanya pada Ben yang kami kenal sebagai buruh senior di sini.

“Itu nona Iori, putrinya tuan Yamamoto, pemilik gudang ini. Majikan kita.”

“Cantik juga.”

“Dia baik. Dari dulu kami semua sering ditolong olehnya. Mandor di sini memang sering memperlakukan para buruh dengan sewenang-wenang.”

Telingaku menangkap isi pebicaraan itu dengan sangat jelas sekali.

Sore ini senyum yang tadi pagi masih kumiliki sudah terbang entah ke mana.

^ ^ ^ * * * ^ ^ ^

Cih, mimpi apa aku berani berkenalan dengan putri majikan tempat aku bekerja.

Aku merutuk diriku sendiri sepanjang malam tiada henti. Biarlah malam itu kutumpahkan segala kekacauan hatiku. Aku bertekad bahwa keesokan harinya aku harus melupakan semua kegilaan ini.

Malam itu adalah malam yang sangat menyiksa dalam hidupku.

<bersambung>

Jakarta, 1 November 2002
Before Humanity Has Lost Its Soul
Robert Setiadi

 

Dilarang menggunakan cerpen ini untuk keperluan komersial dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penulis. Penyebaran cerpen diperbolehkan selama bersifat non-komersial dengan syarat harus menyertakan link URL ke alamat
https://www.robertsetiadi.com/articles/short-stories/lintas-batas-1/