Kadang aku ingin mendengarnya, Roy. Lelaki lain bisa dengan pandainya memuji seorang gadis dengan mengatakan wajahnya seindah rembulan, lelaki lain mengatakan cintanya sedalam lautan atau seluas samudera …

 

Malam yang sungguh indah. Aroma parfum Karin tercium jelas, mengingatkanku kembali pada saat pertemuan kami yang pertama dulu. Ya, lima tahun yang lalu Karin menerima aku menjadi kekasihnya di depan sebuah toko parfum.

“Roy, kenapa kamu diam?”

“Ah, tidak, hanya mengenang masa lalu.”

“Ceritakan, apa yang kamu pikirkan.”

“Tidak ada yang spesial, cuma masa-masa awal kebersamaan kita.”

“Sudah lima tahun…” Karin tidak melanjutkan kata-katanya.

“Ya, sudah lima tahun. Sebentar kah? Lama kah?”

“Sudah cukup lama, menurutku. Menurut kamu bagaimana?”

“Tergantung…”

“Apa maksudnya?”

“Ada saat-saat dimana aku merasa kita sudah banyak melalui berbagai hal bersama. Tetapi ada pula masanya saat aku merasa awal pertemuan kita baru seperti beberapa hari yang lalu saja.”

“Hmmm… bagaimana dengan saat ini?”

“Entahlah, memperingati 5 tahun sebuah hubungan membuatku merasa tua.”

“Hahaha.”

Kami terdiam sejenak.

“Aku mencintaimu, Karin.”

“Aku juga.”

Kembali suasana menjadi hening.

“Ah, lagi-lagi kamu tidak bisa mengatakan apa-apa, Roy. Kamu tidak romantis.”

“Ha? Apa yang harus aku katakan?” setengah kaget aku membela diri mendapat serangan tiba-tiba.

“Mestinya kamu bisa mengatakan sesuatu, Roy. Sesuatu yang romantis. Seorang perempuan akan senang mendengar pujian tentang bajunya, pujian tentang tatanan rambutnya, atau apa pun yang bisa menyenangkannya.”

“Bajumu bagus, tatanan rambut kamu juga bagus.”

“Bukan seperti itu yang kumaksud, Roy.”

“Lantas bagaimana? Karin, kita sudah bersama cukup lama dan kamu tahu betul aku tidak pandai mengarang kata-kata seperti itu.”

“Aku tahu, Roy. Aku tahu. Hanya saja… kadang aku berharap kamu bisa sesekali saja bersikap romantis untukku. Tidakkah aku berarti buat kamu?”

“Tentu kamu sangat berarti, sayang. Kamu tahu betapa aku menyayangimu.”

“Ya, aku tahu, hanya kadang aku ingin mendengarnya, Roy. Lelaki lain bisa dengan pandainya memuji seorang gadis dengan mengatakan wajahnya seindah rembulan, lelaki lain mengatakan cintanya sedalam lautan atau seluas samudera.”

“Aku tidak ingin mengatakan wajahmu seindah rembulan, Karin. Permukaan bulan itu terdiri dari banyak kawah dan retakan, buruk sekali kelihatannya, masa aku membandingkan kamu dengan bulan? Percayalah, bulan bukan perumpamaan yang bagus untuk kecantikan. Kemudian kedalaman lautan atau luas samudera, itu semua bisa dihitung, Karin. Tidak sepantasnya dijadikan ukuran sebuah perasaan cinta.”

“A-aku… ah sudahlah, aku capek mendengar segala macam penjelasanmu. Cinta itu perasaan, Roy, bukan ilmu pasti. Kadang ada hal yang tidak perlu dijelaskan seperti itu.”

“Ya, aku tahu, lebih dari tahu bahwa cinta itu perasaan. Tidakkah kau tahu, kita sudah melalui banyak hal bersama. Susah dan senang sudah kita lewati bersama, tidakkah itu cukup menunjukkan seberapa dalam aku mencintaimu? Jelas lebih dari bulan, laut, samudera, atau apa pun itu.”

“Katakan Roy, kenapa kamu bisa lebih romantis dengan kekasihmu sebelumnya. Kenapa denganku tidak bisa?”

“Karena memang tidak sama, Karin. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi aku yang sekarang memang sudah berubah. Aku memang sudah tidak seperti itu lagi.”

“Apakah karena aku cantik? Sehingga kamu tidak bisa memujiku?” Karin setengah terisak.

“Bukan, sama sekali bukan. Jangan salah mengerti. Bukan itu penyebabnya.”

“Lalu apa, Roy, apa?”

“A-aku sendiri tidak tahu, Rin. Yang jelas aku memang berubah. Manusia berubah, Rin. Kadang waktu bisa mengubah seseorang tanpa dia menyadarinya.”

“Apakah suatu hari perasaan cinta kamu juga bisa berubah?”

“Jawabannya ada di dalam hati kamu, Karin. Kamu lebih tahu jawabannya dibanding aku.”

“Tidak bisakah kamu menjawab ya atau tidak saja?”

“Justru menurutku jawaban tadi adalah jawaban yang paling benar, Rin. Cinta itu hidup, melibatkan dua pribadi yang dinamis. Kamu akan berubah sejalan dengan waktu, demikian juga aku berubah. Apakah cinta kita akan berubah atau tidak, tergantung dari bagaimana kita berdua mempertahankannya, tergantung bagaimana kita menjaganya selalu hidup dan selalu baru.”

“Lagi-lagi penjelasan yang rumit. Berarti cinta kita suatu hari akan berubah?”

“Aku tidak pernah menghindari perubahan, Rin. Perubahan bisa berarti lebih baik, bisa lebih buruk. Pada akhirnya seseorang yang menyatakan bahwa cintanya tak akan pernah berubah adalah seseorang yang tidak menyadari arti perkatannya sendiri.”

“Berarti kamu sendiri tidak tahu perubahannya akan ke arah lebih baik atau lebih buruk?”

“Seperti yang aku katakan tadi, Karin. Aku tidak bisa menjawabnya karena untuk menentukan masa depan sebuah hubungan kasih diperlukan komitmen dua pribadi, bukan hanya satu orang. Jadi aku tidak bisa menjawabnya sendiri. Harus kita berdua yang menjawab pertanyaan itu.”

Lagi-lagi Karin terdiam.

“Sayang, kita sudah melalui banyak hal yang tidak dilalui pasangan-pasangan lainnya. Dari masa paling sulit hingga momen-momen bahagia sudah kita alami bersama. Saat aku hilang arah tujuan, kamu selalu ada di sisiku, membantuku melalui cobaan-cobaan tersulit. Saat kamu memerlukan, aku akan selalu berada di sisimu. Apakah sepatah dua patah kata rayuan sedemikian perlunya untukmu?”

“Kadang aku tidak mengerti bagaimana menghadapimu, Roy.”

“Kamu sudah menghadapi aku dengan baik selama lima tahun, Karin sayang.”

“Tahukah kamu, kadang aku iri terhadap banyak gadis lain. Teman-temanku banyak bercerita kepadaku tentang kekasihnya yang romatis. Tidak bolehkah aku mengharapkan seorang Roy yang romantis?”

“Roy yang romantis sudah tumbuh dewasa, Karin. Aku memandang sebuah hubungan dari sudut pandang yang lebih dalam, bukan lagi cuma sekedar bercumbu rayu dengan kata-kata manis dan bunga.”

“Apakah ketika seseorang menjadi dewasa, dia akan kehilangan romantisme? Kalau memang begitu aku tidak mau jadi dewasa, Roy.”

“Tidak semuanya, Rin. Orang menjadi dewasa dengan cara yang berbeda-beda.”

“Kamu selalu punya jawaban, Roy. Kenapa kamu tidak pernah punya kata-kata manis untukku?”

“Selamat malam, Tuan. Makanannya sudah siap.” Seorang pelayan menghampiri kami dengan ramah. Udang saus mayonaise dan kentang brokoli yang kami pesan tampak sangat menggoda selera.

Pembicaraan terhenti sebentar dengan kesibukan pelayan menata makanan di meja kami. Sebuah restoran berkelas yang kupilih untuk perayaan lima tahun hubunganku dengan Karin.

“Makanannya enak,” kataku sesaat setelah mencicipi sesendok pertama hidangan kami.

“Ya, aku senang kita merayakan hari istimewa ini di sini.”

“Maafkan aku, sayang.”

Karin belum menjawab.

“Kalau memang ini kemauanmu, aku rasa tidak ada salahnya untuk berusaha menjadi lebih romantis. Mungkin akan perlu waktu. Maukah kamu bersabar menunggunya?”

Karin masih terdiam.

“Roy…”

“Ya?”

“Kalau memang cinta yang tidak pernah berubah itu tidak ada, bisakah setidaknya kamu berjanji akan selalu mencintaiku? Tentang apa yang akan terjadi kemudian, biarlah kita hadapi bersama.”

“Aku berjanji akan selalu mencintaimu, Karin. Aku berjanji untuk membahagiakan kamu, menjalani hidup ini saat bahagia maupun sedih bersamamu.”

“Kamu tidak perlu berubah, Roy. Romantis atau tidak, Karin akan tetap bersama Roy.”

“Terima kasih telah menjadi segalanya bagiku selama lima tahun ini, Karin. Mungkin aku memang tidak lagi pandai bermanis kata, mungkin aku juga tak pandai berkata cinta. Akan tetapi, dengan apa yang aku punya, dengan apa yang aku bisa, aku akan berusaha menjadi yang terbaik, hanya untukmu.”

“Tahukah kamu Roy? Ucapanmu barusan adalah sesuatu yang sangat romantis.”

Aku tersenyum, penuh arti. Kuraih jemari halus pujaan hatiku itu. Seorang gadis yang telah mengisi relung terdalam batinku selama beberapa tahun terakhir. Mengisinya dengan kebersamaan dan kenangan-kenangan manis. Ah, betapa aku seorang lelaki yang beruntung mendapatkan cintanya.

“Happy anniversary, my dear.”

“Happy anniversary, Roy. Maafkan Karin kalau Karin sering bandel, banyak maunya, dan sering bikin repot Roy.”

“Maafkan aku juga kalau kadang aku mengecewakan kamu.”

Senyum Karin terasa begitu hangat meresap dalam hatiku.

“Dance?”

“Sure…”

Cahaya bulan purnama malam ini terlihat begitu indah di mataku. Alunan musik lembut mengantar langkah kami berdua ke lantai dansa.

Jakarta, 14 November 2004
For my dearest
Robert Setiadi

 

Dilarang menggunakan cerpen ini untuk keperluan komersial dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penulis. Penyebaran cerpen diperbolehkan selama bersifat non-komersial dengan syarat harus menyertakan link URL ke alamat
https://www.robertsetiadi.com/articles/short-stories/serangkai-kata-cinta/